Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Politic

Headline tentang Sepeda Pancal : Asu tenan?!!!

Dari kacamata jurnalistik gaya Indonesia, headline The Strait Times edisi 23 Desember 2015 ini "asu tenan". Masak ngobrolin tentang sepeda angin? Orang Jawa biasa menyebut sepeda onthel atau sepeda pancal (=dipancal, dikayuh, ditendang, dijejak). 'Apa tidak ada pilihan headline lain yang lebih menjual?' demikianlah kira-kira pikiran kebanyakan jurnalis gaya Indonesia seperti saya yang terbiasa menyuguhkan berita-berita"hebat"; bo mbastis, heroik, berdarah-darah, atau gaduhnya polemik politik. Ketika sebuah masyarakat sudah menganggap kematian dan tragedi sudah seperti hidangan pencuci mulut, dan tipudaya telah menjadi halal; memang tidak ada yang lebih menarik ketimbang sarapan pagi dengan menonton/membaca berita paling gemuruh. Pagi itu saya mencomot koran dari depan pintu. Lalu, sambil beol pagi, saya baca headline yang "asu tenan" itu, dan berusaha memulung sesuatu yang baik yang bisa saya bagikan pada kawan-kawan Facebook s

Belajar & Pameran di Ruang Publik : Seni dari rakyat, untuk dinikmati rakyat.

Jika Anda pernah membaca sejarah kesenian Indonesia, mungkin akan mendapati sejarah ketika pertentangan sengit terjadi antara "seni untuk seni" dan "seni untuk rakyat". Bahkan sampai memakan korban jiwa. Slogan yang terakhir itu, Lekra-nya PKI di era 60an, getol memperjuangkannya, yang bahkan mengakali seni sebagai salah satu upaya perjuangan revolusioner (please, jangan menuduh-nuduh yang revolusio ner identik dengan PKI). Seni untuk rakyat, bisa memprovokasi sekaligus mengedukasi. Saya secara pribadi, cenderung lebih dekat dengan "seni untuk rakyat" ketimbang "seni untuk seni" yang kian hari kian jadi komoditi kapital mengeruk untung. meski saya gemar datang ke museum atau pameran seni, saya kerap sedih, ketika misalnya lukisan bertema orang melarat "dihidangkan" di ruang-ruang mewah ber-AC, dan disaksikan sambil manggut-manggut orang-orang kaya yang mengincar untung, mencari celah memperdagangkan. Singapura bisa men

9 Desember 2015

Ada apa dengan tanggal itu? yang mengaku warga negara yang baik taulah itu apa.. intinya ada hubungan dengan (Gold, Gospel, dan Glory) yang tau sejarah pasti taulah sejarah politik kenapa istilah tersebut terkenal dan berkembang di negara tercinta tanah air Indonesia. Aku warga indonesia yang taat hukum dan aturan bahkan naik sepeda aja aku bawa SIM. Aku yang sudah 2 kali dalam acara tersebut seperti pemilihan Presiden dan wakilnya tahun lalu dan sekarang Pemilihan kepala daerah atau disingkat PILKADA harus menjadi pengamat dan berada diluar TPS karena Golput dan tidak memiliki hak suara. Belum lagi status jejaring sosial yang mengkampanyekan untuk mengeluarkan hak pilihnya bahkan jauh sebelumnya money politic pun sudah berjalan aku salah satu korbannya tetapi mereka yang aku kibulin karena jujur di daerah tersebut aku tidak memiliki hak pilih jadi biarin aja mereka mau ngapain. Lucunya lagi aku menemukan sebuah gambar yang didalamnya berisi kata kata mutiara kegaulauan atau ke-Jo

Meme Asyik Maling Jemuran Berkilah

Asyik UU ITE jadi landasan dalam memberikan sanggahan sidang, ada pula oknum yang membuat MEMEnya simak aja deh. Sumber : Maulvi DM

PERANG SAMPIT

Febrio Valentino Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta A.    Latar belakang      Konflik sampit adalah pecahnya kerusuhan antara dua etnis di Indonesia, konflik ini terjadi pada Februari 2001 dan terjadi sepanjang tahun itu. Perang sampit ini terjadi antara etnis Dayak sebagai penduduk lokal dan Madura sebagai pendatang. Kerusuhan sampit ini pecah pada 18 Februari 2001 dan sekitar 500 orang Madura tewas.10.000 jiwa kehilangan tempat tinggal. Suku Madura pertama tinggal di Kalimantan pada tahun 1930 dibawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Sebenarnya dalam kasus ini terjadi kecemburuan sosial antara penduduk lokal dan pendatang. Dimana pendatang disana menguasai perekonomian, perindustrian, perkayuan dan perindustrian. Suku Dayak kerap kali mengalah kepada suku pendatang. Mereka juga sangat terdesak di tanahnya sendiri. Hingga kampung mereka pun berkali-kali berpindah k