Jika Anda pernah membaca sejarah kesenian Indonesia, mungkin akan
mendapati sejarah ketika pertentangan sengit terjadi antara "seni untuk
seni" dan "seni untuk rakyat". Bahkan sampai memakan korban jiwa. Slogan
yang terakhir itu, Lekra-nya PKI di era 60an, getol memperjuangkannya,
yang bahkan mengakali seni sebagai salah satu upaya perjuangan
revolusioner (please, jangan menuduh-nuduh yang revolusioner
identik dengan PKI). Seni untuk rakyat, bisa memprovokasi sekaligus
mengedukasi. Saya secara pribadi, cenderung lebih dekat dengan "seni
untuk rakyat" ketimbang "seni untuk seni" yang kian hari kian jadi
komoditi kapital mengeruk untung. meski saya gemar datang ke museum atau
pameran seni, saya kerap sedih, ketika misalnya lukisan bertema orang
melarat "dihidangkan" di ruang-ruang mewah ber-AC, dan disaksikan sambil
manggut-manggut orang-orang kaya yang mengincar untung, mencari celah
memperdagangkan.
Singapura
bisa menjadi contoh, bagaimana seni, tidak hanya untuk dinikmati
kalangan berduit. Tapi juga bisa langsung diciptakan sekaligus dinikmati
masyarakat secara langsung. Di Terminal Bus Bedok misalnya, calon
penumpang yang antri bisa menunggu bus sambil menikmati foto-foto yang
dipamerkan di ruang-ruang tunggu. Pameran foto di ruang publik ini juga
banyak digelar di stasiun-stasiun kereta atau ruang-ruang publik lainnya
di pemukiman warga. Fotografernya pun bukan fotografer-fotografer
beken, melainkan masyarakat setempat. Yang tentu saja fotonya perlu
diseleksi.
Di tempat tinggal saya di daerah Ang Mo Kio, lukisan-lukisan karya anak-anak setempat, setelah dipigura baik, kerap diletakkan di ruang-ruang publik seperti void deck (ruang kosong di bawah apartemen tempat aktivitas warga). Tak jarang pula tembok-tembok apartemen yang menjulang tinggi, dilukis graffity hingga terkesan tidak membosankan. Kotak-kotak surat juga tak jarang dijadikan "kanvas" untuk kreatifitas legal seniman Singapura. Seni-seni instalasi juga biasa diletakkan begitu saja di ruang publik. Di taman-taman, atau pusat-pusat keramaian. Uniknya, banyak dari "pameran" itu diselenggarakan oleh "RT-RW" setempat.
Ruang publik juga bisa dijadikan tempat belajar. Di Stasiun Keretaapi Ang Mo Kio misalnya, sejarah transportasi Singapura dikenalkan pada anak-anak dengan cara memasang gambar-gambar kartun yang bisa dipakai bermain anak-anak.
Kota-kota besar (juga kecil) di Indonesia mungkin bisa meniru bagaimana Singapura memadukan seni, kesenian, serta edukasi di ruang publik. Bukan malah memadati ruang publik dengan asbak-asbak tempat putung rokok, yang justru membuat anak-anak lebih tertarik menjadi perokok.
Seni, seharusnya dari rakyat, dan harus bisa dinikmati semua rakyat.
Sumber: Mas Sultan Yohana
Di tempat tinggal saya di daerah Ang Mo Kio, lukisan-lukisan karya anak-anak setempat, setelah dipigura baik, kerap diletakkan di ruang-ruang publik seperti void deck (ruang kosong di bawah apartemen tempat aktivitas warga). Tak jarang pula tembok-tembok apartemen yang menjulang tinggi, dilukis graffity hingga terkesan tidak membosankan. Kotak-kotak surat juga tak jarang dijadikan "kanvas" untuk kreatifitas legal seniman Singapura. Seni-seni instalasi juga biasa diletakkan begitu saja di ruang publik. Di taman-taman, atau pusat-pusat keramaian. Uniknya, banyak dari "pameran" itu diselenggarakan oleh "RT-RW" setempat.
Ruang publik juga bisa dijadikan tempat belajar. Di Stasiun Keretaapi Ang Mo Kio misalnya, sejarah transportasi Singapura dikenalkan pada anak-anak dengan cara memasang gambar-gambar kartun yang bisa dipakai bermain anak-anak.
Kota-kota besar (juga kecil) di Indonesia mungkin bisa meniru bagaimana Singapura memadukan seni, kesenian, serta edukasi di ruang publik. Bukan malah memadati ruang publik dengan asbak-asbak tempat putung rokok, yang justru membuat anak-anak lebih tertarik menjadi perokok.
Seni, seharusnya dari rakyat, dan harus bisa dinikmati semua rakyat.
Sumber: Mas Sultan Yohana
Comments
Post a Comment