Masih Cuap - Cuap dari Mas Sultan Yohana
=========================================================================
Saya masih begitu ingat, saat pertama gabung main bola dengan warga setempat di tempat tinggal saya yang baru, di Singapura. Hari sudah larut, ketika itu, keringat sudah membanjir, saya pamit stop pada mereka. Lalu kemudian, permainan berhenti sesaat. Mereka satu per satu mendatangi saya.
Ada yang menepuk bahu saya, ada pula yang sekedar salaman. "Welcome to join us, Bro!" salah satunya mengucap begitu, yang lain menggumamkan kalimat serupa. Mengharukan sekali, terutama jika kita tahu, ini Singapura, kota yang warganya dikenal sangat individualistik. Dan mereka tahu saya orang Indonesia, negara yang warganya gemar mengolok-olok dan mengirim masalah pada Singapura. Bahkan istri saya kerap protes pada saya, 'kenapa harus Singapura yang selalu disalahkan, jika ada masalah di Indonesia?'
Sebelumnya, saya berusaha mencari informasi tentang rekan-rekan Indonesia yang kerap bermain sepakbola di Singapura. Saya mendapatkannya, juga kontak personnya. Saya hubungi mereka berkali-kali. Jawaban yang saya terima mengecewakan; kadang dilempar sana-sini, kadang tak dibalas sama sekali. Sampai akhirnya, saya putus asa dan berpikir, "Saya perantau, apa gunanya merantau kalau yang dipikir cuma kawan sekampung doang. Jauh lebih menantang kalau bisa membaur dengan warga setempat". Saya lalu mencobanya. Dan ternyata bisa. Memang, awalnya sedikit sulit. Tapi ketika kita datang ke mereka dengan hal baik, mereka akan membalasnya dengan hal baik pula.
Saat di Batam pun, dulu saya tidak harus selalu berkumpul dan berinteraksi dengan orang Malang, tempat asal saya. Bahkan mungkin sangat jarang. Bukannya tidak mau berhubungan dengan rekan sekampung. Tapi, BAGI SAYA, hakikat dari merantau adalah mencari hal berbeda. Menemukan saudara baru. Menikmati budaya baru. Mencicipi makanan baru. Mempelajari hal-hal baru. Siapa pun dan dari manapun asalnya, orang terdekat yang ada di sekeliling saya, saya coba temani dan akrabi. Tentu saja saya begitu senang bertemu dengan orang dari daerah saya, ngobrol dengan bahasa khas daerah saya. Tapi kalau membatasi diri CUMA bergaul sama mereka saja, ngapain saya jauh-jauh merantau, meninggalkan desa saya.
Karena itulah saya sama sekali tidak tertarik bergabung dengan perkumpulan atau paguyuban dari daerah asal saya. Perkumpulan macam itu, awalnya mulia, namun ujung-ujungnya "dijual" untuk kepentingan politik atau untuk ajang sebar proposal cari dana. Di Batam, model semacam ini tercecer di mana-mana macam kotoran kambing. Semula, baunya seolah-olah wangi, dengan segala macam niat baik untuk mempererat persaudaraan warga sekampung. Tapi ujung-ujungnya busuk karena potensi keuntungan yang didapat. Bertengkar, berebut ketua atau pengurus di "kelas teri" organisasi daerah atau payuguban yang kerap terjadi di Batam, adalah bukti "busuk" bau yang menyebar dari mereka.
Saya tidak mempertimbangkan asal daerah, keyakinan, mereka makan babi atau tidak; jika ingin menolong seseorang. Begitu juga ketika giliran saya minta pertolongan.
Ketika saya sakit atau butuh bantuan, misalnya. Saya jelas tak akan repot-repot menelepon kawan sedaerah untuk minta pertolongan. Hal pertama yang saya lakukan, jelas akan meminta bantuan orang terdekat; keluarga, tetangga kanan-kiri, atau rekan kerja. Siapa pun mereka, dari mana asal maupun keyakinan mereka, tidak jadi masalah.
Hehe, tampaknya kini sudah harus beli sepatu bola lagi.
=========================================================================
Saya masih begitu ingat, saat pertama gabung main bola dengan warga setempat di tempat tinggal saya yang baru, di Singapura. Hari sudah larut, ketika itu, keringat sudah membanjir, saya pamit stop pada mereka. Lalu kemudian, permainan berhenti sesaat. Mereka satu per satu mendatangi saya.
Ada yang menepuk bahu saya, ada pula yang sekedar salaman. "Welcome to join us, Bro!" salah satunya mengucap begitu, yang lain menggumamkan kalimat serupa. Mengharukan sekali, terutama jika kita tahu, ini Singapura, kota yang warganya dikenal sangat individualistik. Dan mereka tahu saya orang Indonesia, negara yang warganya gemar mengolok-olok dan mengirim masalah pada Singapura. Bahkan istri saya kerap protes pada saya, 'kenapa harus Singapura yang selalu disalahkan, jika ada masalah di Indonesia?'
Sebelumnya, saya berusaha mencari informasi tentang rekan-rekan Indonesia yang kerap bermain sepakbola di Singapura. Saya mendapatkannya, juga kontak personnya. Saya hubungi mereka berkali-kali. Jawaban yang saya terima mengecewakan; kadang dilempar sana-sini, kadang tak dibalas sama sekali. Sampai akhirnya, saya putus asa dan berpikir, "Saya perantau, apa gunanya merantau kalau yang dipikir cuma kawan sekampung doang. Jauh lebih menantang kalau bisa membaur dengan warga setempat". Saya lalu mencobanya. Dan ternyata bisa. Memang, awalnya sedikit sulit. Tapi ketika kita datang ke mereka dengan hal baik, mereka akan membalasnya dengan hal baik pula.
Saat di Batam pun, dulu saya tidak harus selalu berkumpul dan berinteraksi dengan orang Malang, tempat asal saya. Bahkan mungkin sangat jarang. Bukannya tidak mau berhubungan dengan rekan sekampung. Tapi, BAGI SAYA, hakikat dari merantau adalah mencari hal berbeda. Menemukan saudara baru. Menikmati budaya baru. Mencicipi makanan baru. Mempelajari hal-hal baru. Siapa pun dan dari manapun asalnya, orang terdekat yang ada di sekeliling saya, saya coba temani dan akrabi. Tentu saja saya begitu senang bertemu dengan orang dari daerah saya, ngobrol dengan bahasa khas daerah saya. Tapi kalau membatasi diri CUMA bergaul sama mereka saja, ngapain saya jauh-jauh merantau, meninggalkan desa saya.
Karena itulah saya sama sekali tidak tertarik bergabung dengan perkumpulan atau paguyuban dari daerah asal saya. Perkumpulan macam itu, awalnya mulia, namun ujung-ujungnya "dijual" untuk kepentingan politik atau untuk ajang sebar proposal cari dana. Di Batam, model semacam ini tercecer di mana-mana macam kotoran kambing. Semula, baunya seolah-olah wangi, dengan segala macam niat baik untuk mempererat persaudaraan warga sekampung. Tapi ujung-ujungnya busuk karena potensi keuntungan yang didapat. Bertengkar, berebut ketua atau pengurus di "kelas teri" organisasi daerah atau payuguban yang kerap terjadi di Batam, adalah bukti "busuk" bau yang menyebar dari mereka.
Saya tidak mempertimbangkan asal daerah, keyakinan, mereka makan babi atau tidak; jika ingin menolong seseorang. Begitu juga ketika giliran saya minta pertolongan.
Ketika saya sakit atau butuh bantuan, misalnya. Saya jelas tak akan repot-repot menelepon kawan sedaerah untuk minta pertolongan. Hal pertama yang saya lakukan, jelas akan meminta bantuan orang terdekat; keluarga, tetangga kanan-kiri, atau rekan kerja. Siapa pun mereka, dari mana asal maupun keyakinan mereka, tidak jadi masalah.
Hehe, tampaknya kini sudah harus beli sepatu bola lagi.
Comments
Post a Comment