Saya mendapatkan istilah "Chio Office Lady" ini, ketika datang ke
Singapore National Library Sabtu (8/8) lalu, dan kebetulan di sana
sedang dipamerkan poster karya seniman poster bernama Sharon Yang atau
Paynk.
Paynk, dalam keterangannya menulis, Chio office lady adalah, "character conjures up the image of a powerful career women, independent, capable, and fully in charge of her own life. She is usually meticolous to a fault and always get the job done all this while still looking fabulous". Atau kalau saya boleh persingkat, "Chio Office Lady" adalah "wanita karier".
"Chio" sendiri merupakan istilah slank yang bisa diartikan sebagai "wanita cantik/seksi", dan kerap dipakai untuk memberi atribut negatif. Di frasa Indonesia, mungkin setara dengan "perempuan gatal".
Dan baikah, terlepas dari pengertian tekstualnya, kian hari perempuan beratribut "Chio Office Lady" kian banyak di Singapura. Bahkan mungkin kian mendominasi. Perempuan-perempuan ini, seperti tak peduli lelaki, tidak membutuhkan lelaki, karena semua keinginan mereka bisa mereka penuhi sendiri. Selain mandiri dari sisi materi, mereka biasanya berkepribadian tegas, dan biasa memandang lelaki dengan kesetaraan mutlak.
Lalu kemudian muncullah masalah:
Masyarakat Singapura, tidak punya kepercayaan diri tinggi, termasuk lelakinya. Mereka boleh tampil begitu cantik atau tampan, tapi untuk persoalan PEDE, saya pikir orang Indonesia jauh lebih nekat, lebih njancuki (dalam istilah positif)! Adat ketimuran masih sangat tinggi di hati sebagian besar warga Singapura. Perempuan enggan mengungkapkan cinta karena dianggap tidak sopan, sementara lelaki "malu" mendekati wanita yang lebih sukses secara ekonomi. Lelaki juga, memilih menikah jika semuanya SUDAH SIAP, tidak seperti di Indonesia, yang menganggur pun, bisa punya bini lima. Sementara, kesetaraan gender di Singapura, memberi peluang siapa pun, termasuk wanita untuk bisa sukses di bidang apa saja.
Jika seorang wanita sudah menjadi "Chio Office Lady" di usia 25 tahun, bisa dibayangkan, lelaki usia 25 hingga 35 tahunan yang belum mapan tak akan berani mendekati wanita itu. Jika seorang lelaki baru bisa mapan di usia 40 tahun, dia mungkin akan mencari perempuan idealnya yang berusia antara 30 hingga 40. Usia yang justru sudah dianggap tidak lagi subur bagi perempuan. Mungkin karena itu, banyak pasangan suami-istri di Singapura tidak punya anak. Banyak lelaki Singapura menikahi wanita Vietnam, Pontianak, atau Malaysia; karena menganggap wanita Singapura terlalu "tinggi" untuk dijangkau. Dan banyak perempuan Singapura yang pada akhirnya terlambat menikah.
Tapi, beberapa kawan perempuan karib saya di Singapura, enjoy-enjoy saja tidak menikah hingga usia 45 tahun.
Saya sendiri, ketika tetangga atau orang Singapura bertanya usia saya (di bawah 40), dan mereka tahu saya sudah punya dua anak (pertama delapan tahun), mereka seperti tidak percaya! "Kamu masih sangat muda sudah punya anak. Saya harap kamu bisa menambah lagi!" kira-kira begitulah kalimat yang kerap muncul dari mulut orang yang tahu usia saya, dan status saya sebagai bapak dua anak. Padahal di Indonesia, banyak kawan seusia saya anak mereka sudah akan kuliah!
Foto: poster karya Paynk yang digambar di bean bag, dan tiap pengunjung boleh memukul, menggumul, menendangnya!
Paynk, dalam keterangannya menulis, Chio office lady adalah, "character conjures up the image of a powerful career women, independent, capable, and fully in charge of her own life. She is usually meticolous to a fault and always get the job done all this while still looking fabulous". Atau kalau saya boleh persingkat, "Chio Office Lady" adalah "wanita karier".
"Chio" sendiri merupakan istilah slank yang bisa diartikan sebagai "wanita cantik/seksi", dan kerap dipakai untuk memberi atribut negatif. Di frasa Indonesia, mungkin setara dengan "perempuan gatal".
Dan baikah, terlepas dari pengertian tekstualnya, kian hari perempuan beratribut "Chio Office Lady" kian banyak di Singapura. Bahkan mungkin kian mendominasi. Perempuan-perempuan ini, seperti tak peduli lelaki, tidak membutuhkan lelaki, karena semua keinginan mereka bisa mereka penuhi sendiri. Selain mandiri dari sisi materi, mereka biasanya berkepribadian tegas, dan biasa memandang lelaki dengan kesetaraan mutlak.
Lalu kemudian muncullah masalah:
Masyarakat Singapura, tidak punya kepercayaan diri tinggi, termasuk lelakinya. Mereka boleh tampil begitu cantik atau tampan, tapi untuk persoalan PEDE, saya pikir orang Indonesia jauh lebih nekat, lebih njancuki (dalam istilah positif)! Adat ketimuran masih sangat tinggi di hati sebagian besar warga Singapura. Perempuan enggan mengungkapkan cinta karena dianggap tidak sopan, sementara lelaki "malu" mendekati wanita yang lebih sukses secara ekonomi. Lelaki juga, memilih menikah jika semuanya SUDAH SIAP, tidak seperti di Indonesia, yang menganggur pun, bisa punya bini lima. Sementara, kesetaraan gender di Singapura, memberi peluang siapa pun, termasuk wanita untuk bisa sukses di bidang apa saja.
Jika seorang wanita sudah menjadi "Chio Office Lady" di usia 25 tahun, bisa dibayangkan, lelaki usia 25 hingga 35 tahunan yang belum mapan tak akan berani mendekati wanita itu. Jika seorang lelaki baru bisa mapan di usia 40 tahun, dia mungkin akan mencari perempuan idealnya yang berusia antara 30 hingga 40. Usia yang justru sudah dianggap tidak lagi subur bagi perempuan. Mungkin karena itu, banyak pasangan suami-istri di Singapura tidak punya anak. Banyak lelaki Singapura menikahi wanita Vietnam, Pontianak, atau Malaysia; karena menganggap wanita Singapura terlalu "tinggi" untuk dijangkau. Dan banyak perempuan Singapura yang pada akhirnya terlambat menikah.
Tapi, beberapa kawan perempuan karib saya di Singapura, enjoy-enjoy saja tidak menikah hingga usia 45 tahun.
Saya sendiri, ketika tetangga atau orang Singapura bertanya usia saya (di bawah 40), dan mereka tahu saya sudah punya dua anak (pertama delapan tahun), mereka seperti tidak percaya! "Kamu masih sangat muda sudah punya anak. Saya harap kamu bisa menambah lagi!" kira-kira begitulah kalimat yang kerap muncul dari mulut orang yang tahu usia saya, dan status saya sebagai bapak dua anak. Padahal di Indonesia, banyak kawan seusia saya anak mereka sudah akan kuliah!
Foto: poster karya Paynk yang digambar di bean bag, dan tiap pengunjung boleh memukul, menggumul, menendangnya!
Comments
Post a Comment