
Sampai beliau meninggal, saya, hampir semua orang di kampung, memanggil beliau cuma dengan sebutan "Lek Mot".
Guru ngaji kedua, masih "berjulukan" lek, tepatnya Lek Ocop (Yusuf). Beliau juga, profesi utamanya sebagai tukang jahit. Secara ekonomi Lek Ocop cukup berada ketimbang Lek Mot, tapi tetap kami tidak diwajibkan bayar apa-apa. Sepanjang pagi hingga petang beliau ke pasar untuk bekerja menjahit, dan selepas itu membimbing puluhan anak-anak belajar ngaji. Saya di sana hingga khatam "Quran gedhe" sekali.
Lek Ocop, tetap kami memanggil beliau demikian hingga bertahun-tahun saya tak lagi ngaji di sana. Tidak pernah jadi berubah jadi Ustad Ocop apalagi Ustad Yusuf.
Karena kampung saya bejibun pesantren dan tempat ngaji, setelahnya saya biasa sledrang sledreng kadang ngaji di surau atau datang di pengajian-pengajian orang tertentu. Begitu biasa kami menambah ilmu.
Sebetulnya saya ingin sekali mondok. Tapi ekonomi ibu saya tidak memungkinkan. Salah jika orang beranggapan mondok itu untuk orang-orang melarat seperti saya.
Guru paling berpengaruh dalam urusan ngaji mungkin "Kang Dun". Begitu ibu saya biasa memanggil Pak Saidun. Karena masih bersepupuan. Sebetulnya beliau adalah guru madrasah saya di pelajaran Tajwid. Dengan beliaulah, semua murid wajib mengkhatamkan Tajwid sebelum lulus madrasah, dan kudu hafal Surat Yasin. Ini adalah pelajaran yang sangat intens dan berat, terutama untuk seorang bocah sekolah dasar. Saya sering ketakutan manakala esoknya saya belum bisa memenuhi beberapa ayat Yasin yang harus saya setor hafalannya. Khusus pelajaran Tajwid mungkin tidak terlalu membebani, mungkin karena saya cukup bisa dan suka pelajaran ini.
Belakangan, karena begitu intensnya pelajaran sewaktu di madrasah, saya tak pernah lagi belajar Tajwid sewaktu di SMP, SMA. Pelajaran Tajwid di SMA bahkan sangat tertinggal ketimbang di madrasah.
Kang Dun ini guru yang luar biasa. Keras, tegas, dan ilmunya melimpah. Sering tiap kali saya berkunjung ke rumahnya, beliau sedang tepekur di aneka buku pengetahuan agama. Seorang putrinya hafiz sekaligus juara qori nasional. Seorang lainnya juga menyandang predikat qori nasional, dan satu lagi merajai di tingkat Jawa Timur. Saya sering memandangi dan iri dengan belasan trofi anak-anak Pak Saidun manakala datang ke rumah beliau.
Tapi ya itu, saya cuma menyapa beliau dengan panggilan "Pak Saidun", sama dengan panggilan yang diberikan pada orang-orang yang mengenalnya. Tidak nambah embel-embel "ustad" apalagi"kyai". Meski beliau sangat layak untuk dipanggil demikian.
Kata "ustad" di jaman saya di Malang, terasa sangat mahal sekali. Tidak hanya harus berpengetahuan luas tentang agama dan sekaligus mengajarkannya, predikat "ustad" biasanya juga disematkan pada mereka yang benar-benar dianggap zuhud, suka tirakat, dan tidak lagi meletakkan materi sebagai prioritas utama hidup.
Lha kok sekarang malah ada "ustad" yang tanpa malu ngobrolin masalah rumahtangganya di tivi-tivi. Ini yang geblek dianya atau orang-orang yang menjulukinya.
Oh ya, satu lagi guru ngaji saya, yang hampir lupa saya sebutkan. Saya biasanya memanggil beliau "Mbak Solikah".
Sumber : Sultan Yohana
Comments
Post a Comment