Setiap tanggal 25 Desember identik dengan pohon natal yang dihiasi berbagai pernak-pernik lampu hias tak lupa juga dengan kantung-kantung sepatunya dan juga sinterklas. Sinterklas yang dalam mitos di masyarakat yang akan membawa berbagai macam mainan untuk anak-anak dan mengabulkan do'a-do'a mereka yang meminta. Seragam kebesaran sinterklas tak luput dari pesanan para order yang terkadang dikenakan petugas swalayan, minimarket dan tempat - tempat belanja besar lainnya dihadirkan untuk memarakkan hari jadi 25 Desember dan Tahun baru yang hanya dalam hitungan hari.
Dalam suatu kartu ucapan Selamat Natal selalu dikaitkan dengan Selamat Tahun Baru. Sebenarnya tak ada yang istimewa di tanggal tersebut hanya saja masyarakat yang terlalu berlebihan dalam menyambutnya. Bukankah kita seharusnya sadar bahwa sudah setahun kita lewati dan ingat apa yang telah diperbuat apakah amalan atau dosa? dan pencapaian apa yang telah teraih di tahun itu bukan malah sebaliknya.
Dulu, saat saya masih berada di Bangka yang notabene budaya, suku dan agama bercampur menjadi satu dalam satu lingkup masyarakat. Memang ada sebagian yang berkumpul secara klannya saja di suatu wilayah. Akan tetapi, dalam masyarakat seperti pendidikan, social, bahkan jajaran pemerintahan mereka membaur dengan yang lainnya tidak hanya dengan sukunya sendiri. Sikap toleransi inilah yang membentuk masyarakat Bangka pada umumnya dan Koba pada khususnya aman, tenteram dan nyaman. Kembali ke topik yaitu ucapan selamat, di daerah Koba atau Berok saat Natal maupun Tahun Baru kita selalu berkunjung ke beberapa teman yang beragama Nasrani lalu ucapan selamat itu pun terkadang terlontar. Waktu itu ada teman yang lebih tua mengatakan bahwa jangan kita mengucapkan Selamat Natal & Tahun Baru kepada mereka karena haram. Setelah dipikir ternyata ada benarnya juga dulu pernah terdengar oleh telinga "Barang siapa yang mengikuti suatu kaum maka dia termasuk ke dalam kaum tersebut dan akan dibangkitkan bersama dengan kaum tersebut". Sejak saat itu saya tidak mengucapkan kata selamat Natal & Tahun Baru, meski sebaliknya mereka yang melontarkan hanya saya jawab iya atau diam saja.
Saat Lebaran atau hari Raya Islam beberapa dari tetangga yang belum muslim terkadang datang mengunjungi dan kadang mengucapkan Selamat juga tapi saya jawab silakan di makan dan minum seadanya. Ada sesuatu yang lain saat mereka masuk ke dalam rumah terkadang memanggil nama atau langsung masuk saja seolah rumah sendiri, sangat tidak beretika tapi itulah kenyataan yang didapati di masyarakat kala itu. Ucapan salam yang mereka lontarkan layaknya orang muslim pun kadang terlontar tetapi beberapa teman menyarankan untuk tidak menjawabnya dengan salam juga tetapi cukup menengok dan menanyakan apa keperluannya?. Sedih memang kalau membayangkannya ternyata saya dan teman - teman muslim waktu itu ikut membaur dan merayakan hari jadi agama mereka dan jauh dari kata Islam. Mungkin karena saat itu ekonomi sedang tinggi dan solusi utama dari pendidikan formal haruslah sekolah Negeri minim biaya dan mutu terjamin dibandingkan Swasta atau sekolah islam/pesantren yang mutu dan masa depan anak belum terjamin. Karena bayangan orang tua saat itu adalah anak yang lulus dari Pondok di masyarakat tidak bisa menduduki tatanan pemerintahan nyatanya sekarang orang yang beragama kuatlah yang selayaknya memimpin dan banyak dari pemimpin kita terdahulu seperti pak presiden pertama kita pun jebolan dari sebuah sekolah Islam dan Pondok.
Ini hanya sebagai ulasan dan pembelajaran untuk kita dan orang tua terdahulu maupun sekarang. Bukan maksud menggurui tetapi sekedar mengingatkan masyarakat kita saja betapa pentingnya karakter, etika dan tata krama dalam masyarakat. Jika ingin dihormati maka hormatilah diri sendiri, jika ingin dihormati orang lain maka hormatilah orang lain. Ingat hidup sebagai makhluk sosial adalah fitrah manusia itu sendiri jadi jangan egois di dunia ini atau matilah sendiri dikubur pun oleh orang lain.
Sekian dari saya, apabila ada kata tak berkenan yang menusuk hati saya ucapkan mohon ma'af. wabillahitaufik walhidayah assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.....
Wassalam.
Dalam suatu kartu ucapan Selamat Natal selalu dikaitkan dengan Selamat Tahun Baru. Sebenarnya tak ada yang istimewa di tanggal tersebut hanya saja masyarakat yang terlalu berlebihan dalam menyambutnya. Bukankah kita seharusnya sadar bahwa sudah setahun kita lewati dan ingat apa yang telah diperbuat apakah amalan atau dosa? dan pencapaian apa yang telah teraih di tahun itu bukan malah sebaliknya.
Dulu, saat saya masih berada di Bangka yang notabene budaya, suku dan agama bercampur menjadi satu dalam satu lingkup masyarakat. Memang ada sebagian yang berkumpul secara klannya saja di suatu wilayah. Akan tetapi, dalam masyarakat seperti pendidikan, social, bahkan jajaran pemerintahan mereka membaur dengan yang lainnya tidak hanya dengan sukunya sendiri. Sikap toleransi inilah yang membentuk masyarakat Bangka pada umumnya dan Koba pada khususnya aman, tenteram dan nyaman. Kembali ke topik yaitu ucapan selamat, di daerah Koba atau Berok saat Natal maupun Tahun Baru kita selalu berkunjung ke beberapa teman yang beragama Nasrani lalu ucapan selamat itu pun terkadang terlontar. Waktu itu ada teman yang lebih tua mengatakan bahwa jangan kita mengucapkan Selamat Natal & Tahun Baru kepada mereka karena haram. Setelah dipikir ternyata ada benarnya juga dulu pernah terdengar oleh telinga "Barang siapa yang mengikuti suatu kaum maka dia termasuk ke dalam kaum tersebut dan akan dibangkitkan bersama dengan kaum tersebut". Sejak saat itu saya tidak mengucapkan kata selamat Natal & Tahun Baru, meski sebaliknya mereka yang melontarkan hanya saya jawab iya atau diam saja.
Saat Lebaran atau hari Raya Islam beberapa dari tetangga yang belum muslim terkadang datang mengunjungi dan kadang mengucapkan Selamat juga tapi saya jawab silakan di makan dan minum seadanya. Ada sesuatu yang lain saat mereka masuk ke dalam rumah terkadang memanggil nama atau langsung masuk saja seolah rumah sendiri, sangat tidak beretika tapi itulah kenyataan yang didapati di masyarakat kala itu. Ucapan salam yang mereka lontarkan layaknya orang muslim pun kadang terlontar tetapi beberapa teman menyarankan untuk tidak menjawabnya dengan salam juga tetapi cukup menengok dan menanyakan apa keperluannya?. Sedih memang kalau membayangkannya ternyata saya dan teman - teman muslim waktu itu ikut membaur dan merayakan hari jadi agama mereka dan jauh dari kata Islam. Mungkin karena saat itu ekonomi sedang tinggi dan solusi utama dari pendidikan formal haruslah sekolah Negeri minim biaya dan mutu terjamin dibandingkan Swasta atau sekolah islam/pesantren yang mutu dan masa depan anak belum terjamin. Karena bayangan orang tua saat itu adalah anak yang lulus dari Pondok di masyarakat tidak bisa menduduki tatanan pemerintahan nyatanya sekarang orang yang beragama kuatlah yang selayaknya memimpin dan banyak dari pemimpin kita terdahulu seperti pak presiden pertama kita pun jebolan dari sebuah sekolah Islam dan Pondok.
Ini hanya sebagai ulasan dan pembelajaran untuk kita dan orang tua terdahulu maupun sekarang. Bukan maksud menggurui tetapi sekedar mengingatkan masyarakat kita saja betapa pentingnya karakter, etika dan tata krama dalam masyarakat. Jika ingin dihormati maka hormatilah diri sendiri, jika ingin dihormati orang lain maka hormatilah orang lain. Ingat hidup sebagai makhluk sosial adalah fitrah manusia itu sendiri jadi jangan egois di dunia ini atau matilah sendiri dikubur pun oleh orang lain.
Sekian dari saya, apabila ada kata tak berkenan yang menusuk hati saya ucapkan mohon ma'af. wabillahitaufik walhidayah assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.....
Wassalam.
Comments
Post a Comment